18 April 2022. Melihat kebutuhan perguruan tinggi untuk meningkatkan mutunya, Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (P2SDM) IPB berinisiatif untuk menyelenggarakan pelatihan pembuatan dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal (SMPI). Pelatihan ini diselenggarakan selama tiga hari yaitu pada tanggal 18 hingga 20 April 2022 dan mengangkat tema “Membangun Budaya Mutu Menuju Perguruan Tinggi dan Prodi Unggul Era Merdeka Belajar-Kampus Merdeka.”
Kegiatan hari pertama dihadiri oleh 51 partisipan. Sebelum pelatihan dimulai, peserta telah mengikuti pre-test terlebih dahulu. Pada pukul 08.30 WIB acara dibuka oleh MC yaitu Ibu Hj. Irma Yanthi. Setelah sesi do’a dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, Bapak Dr. Amiruddin Saleh, M.Si sebagai Ketua P2SDM IPB memberikan sambutan sekaligus membuka acara secara resmi.
“Suatu fakta yang kita ketahui bersama, bahwa masih banyak pengangguran di level lulusan sarjana, sehingga kami didorong terus untuk menyelenggarakan bimbingan-bimbingan teknis, pelatihan-pelatihan, dan berbagai kegiatan lain yang mensosialisasikan program Merdeka Belajar. Harapan kami sesuai dengan tema pelatihan hari ini, agar perguruan tinggi memiliki mutu unggul di era Merdeka Belajar ini,” ujar Bapak Amir.
Sebelum memasuki materi inti, Sekretaris P2SDM IPB, Bapak Warcito, SP, M.M menyampaikan pengantar pelatihan ini termasuk penjelasan mengenai tugas untuk peserta berupa beberapa dokumen yang perlu disusun. Narasumber hari ini yaitu Bapak Dr. Drs. Wonny A. Ridwan, MM yang menjabat sebagai Kepala Divisi IT SDM P2SDM IPB. Beliau menjelaskan bahwa pada intinya SPMI itu adalah kegiatan penjaminan mutu untuk mengendalikan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi. Definisi tersebut diambil dari Permenristekdikti Nomor 62 Tahun 2016 (Pasal 1).
“Kenapa harus menggunakan SPMI? Karena output atau luaran penerapan SPMI oleh perguruan tinggi ini nantinya akan digunakan oleh BAN-PT untuk menentukan peringkat akreditasi perguruan tinggi tersebut,” Bapak Wonny menjelaskan.
Penerapan tidak sembarang penerapan. Karena tentunya untuk menjamin mutu harus ada standarnya. Sehingga dalam penerapan SPMI ini ada target kinerja yang perlu dikejar, yaitu kriteria melampaui dari SN DIKTI; Standar BAN-PT dan LAM-PT; Standar Internasional seperti QS, IFT, ABET, dsb; Sumberdaya baik dari Sarpras, Keuangan, dan SDM; capaian tahun sebelumnya; serta kontrak kinerja rektor. Adapun kriteria penilaian berdasarkan SAN 2017 mencakup 9 mutu utama, yaitu: visi, misi, tujuan dan strategi; tata pamong tata kelola, dan kerjasama; mahasiswa; SDM; keuangan, sarana dan prasarana; pendidikan; penelitian; pengabdian kepada masyarakat; serta luaran dan capaian.
“Kebanyakan perguruan tinggi hanya memperhatikan mutu dari segi keuangan, sarana dan prasarananya saja. Padahal seharusnya jangan hanya memperhatikan hal itu, karena yang lainnya juga perlu untuk diperhatikan,” ujar Bapak Wonny berpesan.
Pada sesi diskusi beberapa peserta menanyakan hal-hal berkaitan dengan dokumen yang diperlukan dalam SPMI. “Apakah dokumen SPMI cukup di tingkat UPPS dan apakah prodi tidak perlu membuat dokumen SPMI?” salah satu peserta bertanya.
Bapak Wonny menjawab bahwa standar itu ada dua yaitu standar di level universitas dan standar di level UPPS yang biasanya berada di tingkat fakultas. Sedangkan untuk prodi tidak perlu membuat standar tersebut, karena fokus prodi adalah dalam melaksanakan visi keilmuannya. Peserta lain kemudian ada yang bertanya, “Apakah dokeumen SPMI dan dokumen ISO dapat diseleraskan?” Bapak Wonny dengan antusias menanggapi, “Tentu saja boleh karena dokumen ISO membantu dalam hal dokumen manualnya. Nanti ada tahapan dan cara-cara untuk menyelaraskannya.”
Selanjutnya peserta menanyakan mengenai struktur penjaminan mutu dan pelaksanaan evaluasi diagnostik dan formatif. “Apakah ada sebutan baku untuk lembaga penaminan mutu?” tanya salah satu peserta.
“Tidak ada sebutan baku untuk hal itu. Hanya saja, biasanya untuk level perguruan tinggi disebut lembaga, badan, kantor. Sedangkan untuk level UPPS atau fakultas biasanya disebut unit atau gugus penjaminan mutu. Apapun nama lembaga penjamin mutunya, yang penting adalah penjaminan mutu perguruan tinggi harus dijalankan,” Bapak Wonny menanggapi.
“Untuk evaluasi diagnostik dan formatif itu dilakukan oleh siapa?” tanya peserta lain. Bapak Wonny menjelaskan bahwa untuk evaluasi diagnostik dilakukan oleh pimpinan, kepala program studi. Sedangkan untuk evaluasi formatif dilakukan oleh pihak eksternal, harus dari pihak luar prodi. Jangan jeruk makan jeruk, begitu istilah dari Bapak Wonny.
“Evaluasi diagnostik dan formatif tersebut harus dilakukan berapa kali?” peserta lain menanggapi dengan pertanyaan serupa. Untuk hal itu, Bapak Wonny menyarankan untuk dilakukan dua kali setiap semester untuk mendapat nilai 4 pada akreditasi. Sedangkan jika bila dilakukan hanya satu kali setiap semester, maka nilai akreditasi yang akan diperoleh adalah 3 dan jika dilakukan hanya sekali per tahun maka nilainya hanya 2. Setelah sesi diskusi selesai, Bapak Wonny kembali melanjutkan pembahasan ke materi kedua mengenai penyusunan standar perguruan tinggi, seperti SN DIKTI. Harapannya semoga pelatihan pagi ini menambah pemahaman peserta mengenai sistem penjaminan mutu internal perguruan tinggi. (farh)